Selasa, 30 Oktober 2007

Pembagunan Seperti Apa yang ingin Diciftakan Untuk Orang Mendalam dan DAS Mendalam

Pembagunan Seperti Apa yang ingin Diciftakan Untuk Orang Mendalam dan DAS Mendalam

Oleh : Djaloeng

A. Latar Belakang

Orang Mendalam adalah orang yang hidup di aliran sungai mendalam terdiri dari 4 suku/etnis dapat dikatakan sebagai gambaran kemajemukan kehidupan di kapuas hulu yaitu terdiri dayak Bukat, Kayan, Taman di perhuluan Sungai dan ethnis Melayu Hilir sungai, serta sebagian juga Kantuk hidup dalam sugai sambus, dan juga Suruk mereka hidup dalam tatanan adat istiandat dan hukum adat yang berasaskan harmonisasi keseimbangan dan kesederhanaan. mereka ini terbagi dalam 3 Desa yaitu Desa Padua Mendalam, Desa Datah Dian dan Desa Tanjung Jati Kecamatan Putusibau yang berada di wilayah hukum Kecamatan Putus sibau dengan kabupaten kapuas hulu. Kapuas hulu merupakan kabupaten yang terletak di penghulu sungai kapuas dengan koordinat 1110 32’ sampai 1140 09’ bujur timur dan 00 08’ sampai 10 36’ lintang utara dan luasnya 29,842 km2 (20,33% dari luas provinsi Kalbar) yang nama kotanya adalah putussibau dengan jumlah penduduk sekitar 199.277 jiwa Data KPU 2004 dan BPS 2003 dengan jumlah Kecamatan 23 kecamatan dengan 145 desa. kehidupan mereka berasaskan fluralisme dan ditopang oleh kondisi alam lingkungan di aliran sungai mendalam (DAS Mendalam)

DAS Mendalam ini adalah merupakan salah satu kawasan yang bernilai penting, baik secara ekonomi, social maupun ekologis. Dikarnakan DAS Mendalam merupakan sumber penyuplai air bagi sungai kapuas dan terletak diwilayah kawasan Taman Nasional Betung Kerihun yang merupakan salah satu taman nasional penting diKalBar, Indonesia dan bahkan didunia. Desa-desa yang terletak di sepanjang Sungai Mendalam memanfaatkannya dengan baik sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari sesuai dengan azas keseimbagan dan keberlanjutan.

selama ini daya dukung lingkungan alam wilayah ini cukup untuk orang mendalam kembangkan menjadi lahan pertanian dan perkebunan karet secara adat yang biasa dilakukan orang mendalam pada umunya, lahan-lahan di wilayah ini merupakan danau-danau dan rawa-rawa yang dangkal serta teras-teras sungai yang rendah dan lahan lahan berombak dan bukit-bukit sangat luas.

B. Permasalahan

Namun seiring dengan kondisi politik ekonomi bangsa ini dalam keadaan yang tidak menentu sehingga kepentingan-kepentingan ekonomi pengelolaan sumber daya alam tersebut menjadi tarik menarik dengan kebutuhan akan keberlanjutan dari sumber daya alam tersebut, sehingga keseimbangan sumber daya alam semakin terganggu.

DAS Mendalam khususnya sudah cukup banyak mengalami eksploitasi-eksploitasi sumber daya alam skala besar, kesemuanya ini dilihat dari kepentingan pemerintah pusat dan daerah pada masa orde baru, alasan-alasan yang tidak signifikan menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk mengeluarkan beberapa izin mulai dari HPH skala besar dan kecil maupun izin HTI semuanya beralasan dengan pendapatan daerah/negara maupun kemakmuran atau pemberdayaan masyarakat sekitar, namun yang terjadi masyarakat masih tetap terpuruk ke dalam kemiskinan, kesejahteraan rendah, tingkat pendidikan semakin tidak jelas dan sumber daya alam semakin habis, serta sungai-sungai mengalami pendangkalan dan mulai megeruh dari masalah tersebut muncul re-sistensi yang berkepanjangan di masyarakat DAS Mendalam menghadapi pengelolaan sumber daya alam. Pertentangan-pertentangan ini terjadi sudah cukup lama, seperti :

1. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan HPH dan HTI di DAS Mendalam, melalui dialog dengan Dewan Perwakila Masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu -- ketika itu di jabat oleh Abang Tambul Hussein -- dan di tanda tangani bersama bupati Kapuas Hulu Yacobus F. Layang pada tanggal 13 Maret 2000 dalam kesepakatan tersebut tercatat bahwa pemerintah setuju dan mendukung sepenuhnya atas tuntutan masyarakat adat Kayan Mendalam untuk menolak HPH atau perusahan-perusahan yang bergerak dibidang kehutanan yang berada di DAS Mendalam.

2. Penolakan terhadap SK. Menhut No. 107/MENHUT-II/2006 tentang Pembaharuan IUPHHK pada hutan Alam PT. Toras Banua Sukses atas areal Hutan Produksi seluas ±24.920 Ha sampai sekarang menjadi tanda tanya besar bagi warga di DAS Mendalam bagai mana penyelesaiyanya. Bahkan 10 Juli lalu, perwakilan masyarakat Mendalam Bunyamin Satar, Temenggung Kayaan Mendalam, Basyah, Haang, Rosa Ahun ke Jakarta bertemu Menteri Kehutanan MS Ka’ban, kemudia diterima pukul 12.00 di ruangan Ka’ban. Ka’ban sendiri tidak tegas serta bingung untuk mengabil keputusan saat masyarakat menuntut pencabutan ijin SK. Menhut No. 107/MENHUT-II/2006 tanggal 17 April 2006 untuk PT. TBS (dikutif dari media kalbar tgl 19/7/2007).

Pada hal pada tahun 2005 tepatnya tgl 19 Oktober Menteri Kehutanan, M.S Kaban berkunjung ke dusun Tanjung Karang, DAS Mendalam. Ketika itu masyarakat sedang melaksanakan Pehengkung Peji Pep’tang Petengaraan Pelahi Jung Urip Sayuu’ Hanii Ngerimaan (Berkumpul Bersama Bertanya Jawab Mendiskusikan Sesuatu, Saling Menjaga Agar Hidup Baik, Aman Tentram Dan Makmur) Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), dan akhirnya menghasilkan kesepakatan dan peryataan bersama tentang pengelolaan DAS Mendalam yang kemudian diajukan kepada menteri. peryataan sikap bersama yang berisi:

1. Hormati dan hargai hak dan kemampuan masyarakat adat dalam mengelola DAS Mendalam.

2. Kembalikan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat adat DAS Mendalam.

3. Hentikan tuduhan yang mengkambing hitamkan masyarakat adat sebagai pengerusak lingkungan.

4. Meminta agar pemerintah membantu dan mendukung upaya-upaya yang dilakukan masyarakat adat dalam menjaga, memelihara, memperbaiki, dan melindungi sumber daya alam.

Tapi kenapa pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah dan instansi pemerintah yang terkait dengan kehutanan atau sumber daya alam malah tidak mendorong upaya-upaya yang masyarakat mendalam lakukan dalam mejaga keberlansungan alam dan lingkungan mereka, malah pemerintah menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Kemana arah pembagunan yang diinginkan bagi Orang mendalam dan DAS Mendalam ?, dan mana pembagunan yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme) Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang) yang selalu digembar gemborkan indonesia selama ini. Mana semangat persatuan NKRI yang selalu di besar-besaran bila mana semangat nasionalismen dan patriotisme pemerintah itu sendiri sudah dipertanyaakan, akan kemana arah perahu kapal pinisi akan dibawa ?. sekarang pemerintah malah menjadi kaki tangan kaum atau klompok penghisap saja sehingga massa rakyatnya hanya alat ujicoba atau percontohan bagi perkayaan diri sendiri, dan untuk menyelamatkan aset kekayaan pribadi demi kepentingan kedudukan / kekuasaan individu.

“ Delema Masyarakat Adat Terhadap Tanah Sebagai Jantung Kehidupan”

“ Delema Masyarakat Adat Terhadap Tanah Sebagai Jantung Kehidupan”

Oleh : Jalung

“Tanah merupakan modal dasar produksi rakyat dan petani serta masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, perampasan hak atas tanah yang dilakukan oleh negara khusnya pemerintah (borjuasi komprador)i melalui kebijakan-kebijakannya yang pro dengan kaum pengusaha dengan dalih alasan akumulasi APBD hanyalah Cara pembunuhan atau penjajahan terhadap rakyat dan petani serta masyarakat adat secara perlaha- lahan.”

Melihat petaka alam dan lingkungan dasawarsa ini meyulut kita untuk berpikir berapa lama kita akan bertahan dalam republik yang kita cintai ini, kerusakan alam ini banyak dipengaruhi oleh berbagai macam kebijakan pemerintah yang selalu memikirkan kepentingan ekonomi jangka pendek yang selalu mengorbankan tanah yang selama ini menjadi alat produksi utama bagi petani serta sumberdaya alam yang menjadi primadona bagi rakyatnya. Beringan dengan pembagunan yang semakin terus melangkah kedepan serta dengan peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat direpublik yang penuh impian ini, beriringan dengan itu pula kerusakan alam terus berjalan tampa terorganisir oleh para segelintir orang-orang Ditut (gambaran dongeng manusia rakus di suku kayaan) yang hidup dalam republik tercinta ini.

Menjadi pertanyaan besar bagi kita saat ini yaitu Bagaimana pertanggungjawaban republik ini kepada manusia-manusia korban dengan rentangan hitam realita historis kemanusiaannya, dan peristiwa-peristiwanya terhadap penyingkiran manusia terlebih lagi pada masyarakat adat ? Selama ini negara hanya mampu melahirkan berbagai teori pembenaran untuk menutupi dan melindungi ”mimpi-mimpinya” dengan memanfaatkan bermacam undang-undang dan membenarkan apa yang ”dimimpikannya” sebagai pandangan dan ladaasan pembangunan masyarakat. Ketika keadilan yang dibangun oleh negara harus menutupi keadilan lainnya, walaupun keadilan itu sendiri selalu berdiri dengan siapa yang mendirikannya!

Penghancuran sistemik terhadap sesuatu yang terkandung secara mendasar dalam tanah Masyarakat adat, semakin dipermanenkan oleh pembiaran negara terhadap praksis keadilan yang mengendapkan segala bentangan peristiwa konflik tanah, dan keadilan pada pelurusan sejarah masa lalu. Dan negara yang menganut paham pemimpin tertinggi mempuyai kekuasaan mutlak dan tidak usah mempertangung jawabkan perbuatannya kepada siapapun ini terlalu sinis untuk mewujudkannya, apalagi ketika sesuatu yang terkandung secara mendasar dalam tanah harus ”dikalahkan” oleh nilai-nilai komersialisme dan pengembangan kekuasaan korporasi yang berlandaskan pada kepentingan tanah.

Dan ternyata kita tengah dikelilingi oleh nilai-nilai tersebut, dan dengan keleluasaan yang ”liar” semakin menguatkan suatu proses pegembagbiakan bagi pengebirian produktivitas manusia yang dilandaskan oleh tanah. Negara hanya memberikan seadanya saja, bukan dengan apa adanya, terutama kepada alat produksi manusia dan keturunannya. Dengan keangkuhannya, negara telah membentuk manusia menjadi bentuk masyarakat ”pengemis” keadilan dan masyarakat ”penentu” keadilan, serta manusia-manusia yang tersingkir berada pada satu sisi yang paling ekstrem dalam sejarah kehidupan manusia di republik ini, yaitu sebagai masyarakat ”pengemis” keadilan. Dengan lika-liku yang semakin tak beraturan yang dikondisikan oleh negara, dan menghancurkan derajat kemanusiaan hingga pada titik yang terendah.

Ini bukanlah efek dari kebijakan sebuah Negara yang menganut paham pemimpin tertinggi memiliki kekuasaan mutlak dan tidak usah mempertangungjawabkan perbuatannya kepada siapapun juga, tetapi ini merupakan bagian dari kebijakan dari paham Negara diatas itu sendiri yang memperlakukan manusia dan tanahnya sebagai bagian dari objeknya. Dan suatu ideologi yang diperankan oleh negara, semakin mencapai kesempurnaannya dengan praksis-praksis perampasan tanah, menghilangkan/meniadakan peran pemberdayaan, dan memformalkan manusia yang tersingkir sebagai salah satu sasaran/target yang ”mengancam” ketegaran negara. Yang mementingkan kepentingan individu kaum Ditut.

Orang kayan

Orang kayan

Dayak Kayaan adalah salahsatu kelompok sub.suku Dayak yang tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia bahkan dunia, karena keberadaannya sering ditulis oleh para peneliti baik dari luar maupun dalam negeri dan lebih lagi suku Kayaan di Malaysia sebagai suku yang cukup berpengaruh keberadaannya dari berbagai aspek baik pemerintahan, perdagangan maupun pendidikan, yang intinya jauh lebih maju dari suku Kayaan di Kalimantan Barat, meskipun harus menjadi catatan penting bahwa gubernur Oevaang Oeray dan pastor D.J Ding adalah Orang Dayak pertama di Kalbar berasal dari Orang Dayak Kayaan. Selain itu aktualisasi kebudayaan suku ini sering pula ditampilkan diberbagai event nasional dan internasional, apalagi suku Kayan memiliki alat musik yang khas yaitu Sape’. Suku Kayaan selain terdapat di Indonesia Kalbar, Kaltim dan Kalteng, suku ini juga terdapat di Sarawak Malaysia (simak prosentase orang Kayaan di Malaysia dalam tulisan Asmah).

Terminologi Kayaan hakikatnya didasarkan atas nama salah satu sungai di Kalimantan yang terdapat di Kalimantan Timur. Sehubungan suku ini berasal dari sungai ini, oleh karena itu mereka menyebut dirinya suku Dayak Kayaan.

Suku Kayaan menurut H.J. Malinckrodt dalam Fridolin Ukur (1971:52) suku Kayaan merupakan salah-satu dari 6 rumpun besar suku Dayak lainnya[1] di Kalimantan. Manakala menurut Ch.F.H Duman dalam J.U Lontaan (1975: 49) Dayak Kayaan dikelompokkan dalam rumpun Apu Kayan yang terdiri dari 10 sub.suku kecil, yaitu :

1) suku Uma Pliau

2) suku Uma Samuka

3) suku Uma Puh

4) suku Uma Paku

5) suku Uma Bawang

6) suku Uma Naving

7) suku Uma Lasung

8) suku Uma Daru

9) suku Uma Juman

10) suku Uma Leken

Jika diperhatikan pengelompokkan yang dilakukan oleh Ch.F.H Duman hakikatnya sangat membingungkan, karena 10 sub. Suku yang merupakan bagian dari suku Kayaan ini tidak ada terdapat 3 sub.suku Dayak Kayaan yang terdapat di kabupaten Kapuas Hulu, yaitu Uma’ Aging, Uma’ Pagung, dan Uma’ Suling. Ch.F.H Duman malahan memasukkan 3 sub.suku Dayak Kayaan ini ke dalam rumpun Bakau yang menganggotai 26 sub.suku Dayak. Dan menurut peneliti tanpa mengurangi penghargaan terhadap upaya yang sudah dilakukan, namun hal ini merupakan kekeliruan Ch.F.H Duman, karena ketiga sub.suku Dayak Kayaan yang terdapat di kabupaten Kapuas Hulu sehubunan dengan pengakuan kelompok ini yang dijumpai dalam penelitian ini semestinya dimasukkan ke dalam kelompok Kayaan. Dan kelompok ini juga tidak setuju dengan sistem penulisan yang dipakai selama ini KAYAN.

Bagi kelompok ini penulisan tersebut tidak merefleksikan tentang suku mereka. Tanpa memberikan alasan kongkrit tetapi bagi mereka sistem penulisan yang tepat ialah KAYAAN (bunyi vokal ‘a’ setelah fonem ‘y’ pengucapannya dipanjangkan). Dan tradisi atau system tulisan yang umum digunakan oleh masyarakat ini pemanjangan bunyi vokal ini biasanya direfleksikan secara ganda, sebagai contoh Oevaang Oeray (Gubernur pertama Dayak). Selain itu pemanjangan bunyi vokal ini juga berfungsi untuk membedakan arti. Namun bagi peneliti kritikan ini masuk akal jika dihubungkan dengan tinjauan dari aspek linguistik. Dalam hal ini peneliti menemukan dalam bahasa Kayaan bunyi vokal [a], [o], [u], pada suku kata tertutup maupun terbuka pada posisi akhir cenderung dipanjangkan pengucapannya. Sebagai contoh:

[usu:?] ‘tangan’ usuu, [hiku:n] ‘siku’, [liko:]’kening’, [tako:]’curi’, [daha:?] ‘kening’, [mata:n] ‘mata’

Pemanjangan bunyi vokal ini tidak hanya sekedar asal-asalan karena dalam bahasa Kayaan bunyi vokal yang dipanjangkan dengan yang tidak mengalami pemanjangan dapat membedakan arti kata, dalam istilah linguistik disebut pasangan minima.

Sebagai contoh:

1. [ata:?] ’mentah’

2. [atak?] ‘air’

3. [patak] ‘keruh’

Sedangkan contoh lainnya pada kosa-kata :

1. [tegan] ‘tikam’

2. [tega:n] ‘tempat tidur khusus anak kecil’.

Dalam masyarakat Dayak Kayaan terdapat strata sosial. Strata yang paling tinggi disebut Hipi (setarap raja)[2], Panyin (orang biasa), dan Dipan (budak). Strata ini banyak mempunyai kemiripan dengan strata sosial dalam masyarakat Dayak Taman, Alau’ dan Dayak Tamambalo. Tetapi dalam masyarakat Dayak Kayaan jarang terdengar kezaliman dari strata yang paling tinggi dan berkuasa, kecuali kisah perlakuan kaum Hivi terhadap kaum Diivan yang sewenang-wenang terutama pada saat kaum Hipi meninggal. Dalam hal ini apabila kaum Hipi meninggal biasanya disemayamkan selama 8 hari di rumah duka. Dan bilamana dalam rumah tersebut ada budak (kaum Diivan), maka selama 8 hari tersebut budak diperintahkan untuk tengkurap di atas “lungun” (peti mati). Dan setelah hari kedelapan, budak tadi disembelih dan darahnya disembelih di atas lungun. Perlakuan ini memang keji, namun Akam Igau (sahabat Sariamas Balle Polokayu, tokoh Dayak Taman), bersama-sama menghilangkan kebiadaban ini pada suku Dayak Kayaan dan Dayak Taman.

3.1.1 Wilayah Penyebaran dan Jumlah Penutur

Keberadaan sub.suku Dayak Kayaan di kabupaten Kapuas Hulu, sebagaimana telah disinggung di atas, tersebar disepanjang sungai Mendalaam. Sehubungan wilayah geografis ini, suku ini juga dikenal sebagai Dayak Kayaan Mendalam, yang tersebar dalam 9 kampung.

Nama

Wilayah Penyebaran di Kalbar

Sub. Suku & Bahasa Dayak

Berdasarkan Kampung

Wilayah

Kecamatan

Jumlah Penutur

Kayaan

1. Luung Miting

Putussibau

2. Tanjung Karang

3. Teluk Telaga

4. Padua

5. Tanjung Kuda

6. Umaa’ Suling

7. Umaa’ Tadan

8. Umaa’ Pagung

Total

Asal Usul Dayak Kayaan di Sungai Mendalam

Cerita Perjalanan Suku Dayak Kayaan yang Mendiami Sungai Mendalam Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu dari Apo Kayaan, Kalimantan Timur.

Menurut (Paran Lii’ Long dari Uma Lung Miting) penutur cerita tentang asal usul suku Dayak Kayaan di Sungai Mendalam Paran Lii’ (Sebutan oleh orang dari luar Kayaan) Medalaam (Sebutan dalam bahasa Kayaan). sebutan itu identik dengan kebiasaan orang Kayaan yang selalu menggunakan dua huruf (a) yang bergandengan yang dibaca agak panjang. Kedatangan orang suku Dayak Kayaan di Pulau Kalimantan, konon menurut cerita, berasal dari negeri Cina. Menurut para penutur bahwa mereka berasal dari negeri Tongshan, (Tanaa’ Tusaan: Sebutan dalam bahasa Kayaan).

Dari apa yang para penutur ketahui, mereka menceritakan bahwa ada dua kelompok suku yang sama-sama berada dalam sampan yang sama, yakni orang Kayaan dan Cina. kedua suku ini sedang berlayan dilautan, ketika di laut, mereka dihantam badai ombak besar. dalam situasi yang serba panik, saat itupul surat menyurat yang dimiliki orang Kayaan disimpan dalam Bah (cawat; Bhs Kayaan), sementara milik Cina disimpan dalam topi, agar tidak hilang. surat yang disimpan orang cina tersebut masih bisa dibaca, walaupun basah. Sementara punya orang Kayaan, dalam cerita tersebut tidak diceritakan. Apakah hilang atau tidak bisa dibaca.

Cerita terus dikonsentrasikan pada kelompok Kayaan, sementara Cina tidak disebutkan. kedatangan orang Kayaan di Pulau Kalimantan tidak diuraikan dengan jelas, apakah dari pelayaran bersama-sama dengan cina atau sendiri. Yang pasti kedatangan orang Kayaan di Kalimantan, dikatakan langsung masuk ke daerah yang belum berpenghuni. karena ketika mereka datang ditempat dimana mereka hidup berkumpul bersama, yang dinamakan Apo Kayaan (Daratan Tinggi), disebutkan belum ada orang lain. sungai yang ada ditempat itu di beri nama Sungai Kayaan, sementara posisi Apo Kayaan ditepi sungai Kayaan, yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Mereka menempati daerah tersebut karena takut ancaman bahaya dari berbagai hal, termasuk manusia agar anak istri mereka bisa aman.

Nama Kayaan sendiri menurut para penutur adalah nama suku, yang diperkuat dari tinjauan syair sastra lisan Kayaan (Dalam tekna’ Lawe’: Manusia perkasa orang Kayaan). orang luar Kayaan menyebut suku Dayak Kayaan adalah Kayan, tanpa menggunakan dua huruf (a) Karena lawe’ sendiri menyadari dan mengatakan dirinaya adalah orang Kayaan. Setelah beberapa lama orang Kayaan menetap di Apo Kayaan. Datanglah orang Dayak Kenyah, yang juga serumpun dengan Kayaan, disusul kemudian orang lain, seperti Suku Dayak Bukat yang juga termasuk dalam grup Kayaan.

Karena semakin banyaknya orang menetap di Apo Kayaan, orang Kayaan merasa tidak aman, ditambah lagi dengan semakin kurangnya lahan pertanian, maka menimbulkan permusuhan antar orang Kayaan dengan orang Kenyah dan suku-suku pendantang lainnya. kondisi itu membuat orang menjadi waspada antar sesama.

karena rasa curiga dan waspada, hinggalah suatu ketika terjadi peristiwa salah pengertian.

dari seberang Sungai Kayaan, menyeberanglah seekor payo (Payo dalam bahasa Kayaan: Rusa). Payo tersebut menyeberang menuju ke perkampungan warga yang berada di Apo Kayaan. Melihat itu orang yang melihat payo tadi berteriak. Payo!. Sementara yang lain yang berada dalam rumah panjang yang mendengarkan teriakan payo tadi mengira bahwa yang diteriakan adalah Ayo (Ayo: Musuh dalam bahasa Kayaan).

Orang Kayaan yang berada dihilir perkampungan dengan orang banyak, langsung bersiap dengan segala perlengkapan pakaian Kayo-nya (Pakaian perangnya). Bagi yang sempat turun. turun, sementara bagi yang tidak siap turun mereka memilih berdiam dalam rumah. Jumlah orang yang turun dari rumah diperkirirakan sama banyaknya dengan jumlah yang tingga. Bahkan mereka yang turun itu lengkap dengan anak istrinya. Untuk mengamankan diri, karena payo yang dipikir ayo tadi akan menyeberang menuju perkampungan, maka mereka memilih menyeberang ke sebelah sungai melalui Ja’it (Jembatan Gantung), yang terbuat dari rotan membelah Sungai Kayaan.

Mereka yang menyeberang tadi, demi penyelamatan diri dan saudara mereka yang berada di kampung, maka Ja’it itu diputuskan dari seberang perkampungan oleh kelompok yang menyeberang sungai, agar ayo tidak menyeberang ke kampung. Tanpa berpikir panjang, kelompok yang menyeberang tadi langsung lari. Dalam rombongan itu, tidak hanya orang Kayaan, tapi ada juga orang lain. Menurut narasumber (Paran Lii’ Long), ada orang Suku Dayak Bukat. (Cerita Bukat ada bersama orang Kayaan, ketika mereka sudah ada di Sungai Sibau, Kabupaten Kapaus Hulu). Termasuk juga orang Kenyah. (Keikutsertaan orang Kenyah dalam kelompok ini tidak dicertiakan selengkapnya, karena kurangnya pengetahuan narasumber).

Menurut Narasumber lain yang pernah menceritakan hal yang sama kepada penulis (D.Uyub Lung), di bawah bukit Apo Kayaan juga disebut Datah Purah (Dataran rendah tempat orang berhamburan kemana-mana). Menurut Atong, asal Datah Diaan-Malaysia, yang merantau ke Sungai Mendalam dan di Umaa’ Pagung, dan Almarhum Dulah, asal Umaa’ Suling bahwa, dari Puncak bukit Apo Kayaan, orang Kayaan pindah ke bawah, yang disebut Datah Purah. kepindahan mereka ke bawah karena suatu ketiak embuh pagi menyelimuti bukit Apo Kayaan. Anak-anak yang tidak tahu bahwa itu embun, yang dikira mereka adalah air pasang, salngsung melompat, seolah-oleh seperti mandai. Anak-anak yang yang terjun tadi, tidak ada yang muncul, seperti layaknya mandi di sungai. Setelah hari semakin siang, barulah semua orang sadar bahwa itu adalah embun. Tentu saja peristiwa itu membuat para orang tua menjadi ketakutan. Mereka menganggap bahwa itu adalah pertanda buruk. Karenanya, mereka memilih untuk turun dari Apo Kayaan dan bermukim di dataran rendah, yang kemudian tempat itu disebut Datah Purah.

Kelompok yang lari, terus berjalan sehingga tibalah mereka di hulu Sungai Batang Rajang-Malaysia. Mereka memilih berdiam sementara di Sungai Jengayaan, anak Sungai Batang Rajang. Rombongan yang lari ini dipimpin oleh seorang ibu dari kasta Hipii’ (Bangsawan, dan kepala suku) Husun Aging, dari Umaa’ Aging, sub suku Dayak Kayaan. Istri Husun Aging yakni Hengo’ Lekan, asal dari Umaa’ Lekan. Anak dari Husun Aging dan Hengo Lekan adalah Bataang lalang, Hajaang Lalang, dan Lejo Aging, ke tiga anak mereka, semuanya laki-laki.

Selama bermukin dalam Jengayaan, mereka terus mencari lokasi yang bagik untuk membuat pemukiman baru, dan tentunya tanah yang subur dan kaya alamnya. Karenanya, mereka bersepakat untuk mengutus tiga kelompok untuk mencari lokasi baru, yang disebut Ngasip atau Mato (survey). Utusan tersebut, satu kelompok ke arah Sungai Balui-Malaysia, dan kelompok, satu kelompok ke Sungai Kelimaan (Sungai Kapaus), namun yang dituju adalah Hunge Tevio (Sungai Sibau; Bahas Kayaan), (Orang taman sering menyebutnya adalah Banua Sio), Kabupaten Kapuas Hulu, dan kelompok lain menjuju Sungai Mahakam. Setelah beberapa waktu ketiga kelompok itu berangkat, muncullah mereka dengan masing-masing laporan yang disampaikan pada Husun Aging serta para masyarakatnya. Ke tiga kelompok itu sama-sama mempertahankan wilayah yang mereka anggap paling bagus.

Kata kelompok yang datang dari Sungai Mahakam, mengatakan bahwa sungainya sangat bagus, memang sudah ada orang yang bermukim dihilirnya, yakni di Lung Gelaat, dan anak Sungai Mahakam, tapi orang itu baik, walau tidak cocok bahasa. Dari kelompok yang ke Sungai Sibau, mengatakan bahwa sungai yang mereka temua paling baik, tidak ada riamnya, banyak ikannya. Sementara kelompok yang ke Batang rajang juga mengatakan kebaikan yang diperoleh, dan tetap mempertahankan hasil temuan mereka.

Akhirnya, karena semua temuan mereka dinyatakan baik, Husun Aging membaw maka mereka untuk mencari tempat untuk bermufakat, yaitu di Ngalaang Bato’ (Bukit: Ngalaang, Bato’; Batu; Bahasa Kayaan), yang berada di hulu Sungai Jengayaan. Dari keputusan atas dasar mufakat itu, diputuskan bahwa pembagian rombongan di bagi menjadi tiga. Ada yang ke Batang Rajang, yang dipimpin oleh (INI TIDAK JELAS). Yang turun ke Sungai Batang Rajang dipimpin oleh Hajaang Lalang, anak sulung Husun Aging. Yang turun ke Sungai Sibau dipimpin langsung oleh Hippi mereka yakni Husun Aging. Ketika dalam persiapan keberangkatan ke Sungai Sibau, tiba-tiba Husun Aging meninggal dunia. Namun sebelumnya, suami Husun Aging, Hengo Lekan, juga sudah meninggal.

Karena Husun Aging meninggal, maka kepempmpinan di pegang oleh Bataang Lalang, adik Hajaang Lalang, anak Husun Aging. Sementara adiknya, Lejo Aging, ikut abangnya Bataang lalang ke Sibau. Rombongan yang ke Batang Rajang berpisah dari kelompok yang ke Sibau dan Mahakam. demikaian juga sebaliknya pada kelompok lainnya.

Perjalanan diteruskan ke Sungai Sibau. Kelompok yang dipimpin oleh Bataang Lalang masuk dari hulu Sungai Sibau, setelah memeotong beberap sungai besar dan kecil serta hutan lebat belentara, tibalah mereka di tempat yang bernama Lung Putaan (Nanga Putaan). Kelompok yang dipimpin Bataang Lalang ini, jumlahnya sedikit dari kelompok yang ke Batang rajang dan yang ke Sungai Mahakam. Dalam ekodus itu kelompom yang banyak adalah Sungai Mahakam, Batang Rajang, baru Sungai Sibau.

Waktu berangkat dari Sungai Jengayaan, Bataang Lalang, masih bujangan. Ketika menetap di Lung Putaan, Bataang lalang menikan dengan Belasaat, orang asal suku Dayak Bukat yang ikut dalam rombongan itu. Blasaat menurut cerita adalah seorang perempuan yang sangat cantik. Pemukiman di Lung Putaan, belum permanen. Dari Lung Putaan, mereka pindah lang di Nahaa Bekaraan (Naha; Karangan berbatuan, Bekaraan: pisang hutan). lokasi itu berada agak di hilir Lung Putaan. di Tempat baru inilah Blasaat, istri Bataang Lalnag meninggal dunia. Buah dari perkwainan Bataang Lalang dengan Belasaat, ada tiga orang, yakni yang sulung adalah Sigo Lung, yang ke dua Buaa’ Maring, dan yang ketiga adalah Tipung Bataang.

Setelah istri Bataang Lalang meninggal, dia sangat stres. Tentu saja karena pemimpin mereka mengalami stres, maka warga jadi serba bingung dan hampir tidak bisa berbuat apa-apa, karena selain Blasaat yang harus memegang lalii’ (adat sitiadat) meninggal dunia, juga Bataang Lalang yang setiap harinya selalu murung. Dengan segala keberanian, layaknya seorang hamba menghadap tuan, warganya pergi menghadap Bataang Lalang, menanyakan prihal apa gerangan yang menjadi kesedihannya dan kemurungnnya. Setelah diceritakan oleh Batang Lalang, bahwa dia sangat merasa kehilangan istrinya, barulah warganya tahu apa yang menyebabkan dia stres.

Akhirnya warga menganjurkan agar Bataang Lalang menikah lagi, karena setelah Blasaat meninggal dunia, tidak ada lagi yang memegang Lalii’, karena lalii’ karena yang harus memegang lalii’ adalah seorang ibu keturunagn hipii. Permintaan warganya ditolak halus oleh Bataang Lalang. Dia mau menikah asal ada perempuan yang mirip dengan Almarhum Blasaat istrinya.

Mendengar permintaan Bataang Lalang, warganyapun berembuk untuk mencari istri Bataang Lalang yang ada kemiripan dengan Blasaat. Dari hasil hasi kesepakatan, mereka bersepakat mencari perempuan ke Batang Rajang, tempat dimana abang Bataang Lalang, yakni Hajaang Lalang yang memimpin warganya.

Rombongan pergi ke Batang Rajang:

Kepala rombongan serta anak buahnya yang pergi tidak disebutkan oleh narasumber. Setiap bertemu dengan rumah orang Kayaan di Batang Rajang, mereka selalu mengintip. Akhirnya pada sebuah rumah panjang milik Umaa’ Blur, (Umaa’ Blur juga adalah orang Kayaan), di sana mereka sedang menemukan seorang gadis cantik yang sedang mandi di sungai. Gadis itu bernama Haran, yang baru menyelesaikan tato pada bagian kakinya. Gadis yang ditato dikaki menununjukkan bahwa dia barui menginjak dewasa.

Khusus tentang tato Orang Kayaan:

Jika perempuan menginjak dewasa berumur sekitar 15-17 tahun, maka harus ditato di bagian kaki dan tangannya. Sementara jika sudah berusia sekitar 17-20 tahun maka dia harus ditato paha.

Jika ada perempuan yang tidak bertato, maka di adalah orang yang paling hina. Karena selain orang itu tidika mampu, juga menandakan dia tidajk tahan sakit jika ditato. Tato bagi orang Kayaan tidak sekedar perhiasan, tapi juga selaku membantu rohnya jika dia sudah meninggal dunia. Jika roh tersebut berjalan dalam alam baka, maka yang akan menjadi poenerangnya atau cahaya dalam perjalanannya adalah tato yang ada disekujur tubuhnya. Karenannya orang zaman dulu berusahaan bertato. Walaupun harus membayar dengan padi, tikar, sampan. Bagi yang mampu harus membayar penato dengan manik, atau gong.

Mengenai Haran. Dia berendam dalam sungai bersama kawan-kawanya dalam sungai. Rupanya haran adalan anak tunggal dari seorang Hipii Umaa’ Blur. Ketika melihat Haran, saat itu rumah panjang sedang sepi, (sekitar jam 9 waktu sekarang). Karena pada jam-jam itu, orang pada pergi ke ladang. Setelah pengintai menguasai situasi, mereka langsung menyergap dan menangkap Haran yang sedang berendam tadi. Oleh tim pencari istri yang mirip dengan Blasaat, Haran dibawa langsung secara berlarian ke Sungai Sibau, karena takut dikejar warga haran.

Setelah tiba di rumah, Haran diserahkan pada Bataang Lalang, melihat kecantikan Haran, yang juga kebetulan ada kemiripan dengan Blasat, maka Bataang Lalang langsung menerima Haran sebagai istrinya. Tapi kehadiran Haran yang mampu membuat hatinya tentran dan senag, tidak melupakan Bataang Lalang lupa akan dampak yang terjadi setelah menculik Haran. Menurutnya kepada warga, akibat penculikan itu, maka akan terjadi bayaha menyusul yang menimpa seisi rumah panjang. Kapada Haran, Bataang lalang berbicara banyak prihal kenapa dia di culik. Setelah Bataang Lalang bercerita apa yang dialaminya setelah kepergian Blasaat, maka Haran pun mau menerima Bataang Lalang sebagai suaminya.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, apa yang dipikirkan Bataang Lanang, ganap terjadi. Serombongan besar keluarga Haran datang menyerang rumah panjang Bataang Lalang. Tidak diketahui siapa yang memberi informasi yang pasti tentang tempat Batang Lalang bermukim kepada orang Umaa’ Blur. Dalam rombongan Umaa’ Blur itu, tidak disebutkan bahwa orang tua Haran ikut. Tidak ada yang berani keluar, mereka lebih memilik bersiap dan berjaga-jaga dalam rumah, karena selain jumlah warga Bataang Lalang sedikit, juga karena situasi sangat terjepit. Sekeliling rumah panjang dikepung oleh ayo (Musuh) Umaa’ Blur. Untungnya Ayo Umaa’ Blur, tidak berani membakar rumah panjang itu. Namun Ayo bapaknya Haran, dari bawah berteriak dan mengatakan ”Anak saya (Haran) haru keluar dari dalam rumah panjang, kalau tidak maka rumah panjang ini akan kami bakar” teriakan ayo dari bawah mengancam Bataang Lalang dan warganya.

Setelah sekian lama ayo Umaa’ Blur mengepung rumah panjang itu, maka dari kesepakatan Bataang Lalang dangan Haran istrinya, maka mereka berdua keluar dari dalam Amin (Bilik) milik Bataang Lalang. Tentu saja melihat Bataang Lalang bersama Haraan keluar dari bilik, para ayo Umaa’ Blur semakin geram, dan ingin membunuh Batang Lalang. Namun situasi dapat diredakan oleh Bataang Lalang dan Haran bersama seisi rumah. Bataang Lalang meminta agar para ayo naik, untuk menjelaskan persoalan apa sesungguhnya yang dialami olehnya. Setelah mengetahui bahwa Bataang Lalang adalah hipii orang Kayaan dengan segala persoalan pribadinya, dan setelah Haran sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan kembali ke Bantang Rajang, karena sudah terlanjur cinta dengan Bataang Lalang, maka orang Umaa’ Blur tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya situasi yang mencekam dan keganasan dari ayo Umaa’ Blur tadi berumah menjadi suka cita.

Karena Umaa’ Blur juga suku Dayak Kayaan, maka setelah didapati jalan keluar dari akar pengkayauan itu, maka perkawinan Bataang Lalang dengan Haran, dilakukan secara darurat dengan cara petsak kanan (Saling mencicipi nasi. Petsak: Mencicipi Kanan: Nasi), yang berlangsung dalam rumah panjang Bataang Lalang. (Yang dimakan tidak hanya nasi, tapi juga ikan. Kedua mempelai harus saling suap menyuap nasi). Tentunya perkawinan tersebut disaksikan oleh kedua belah pihak. Sistim perkawinan petsak kanan tersebut adalah sistim perkawinan adat suku Dayak Kayaan yang hanya dapat digunakan ketika dalam keadaan darurat, salah satunya seperti kasus tersebut, atas dasar suku sama suka.

setelah beberapa lama ayo Umaa’ Blur berdiam dirumah Bataang Lalang, tibalah saatnya mereka harus pulang kembali ke Batang Rajang. Karena keputusan keluarga, makanya Bataang Lalang bersama sejumlah orang ikut bersama rombungan Umaa’ Blur untuk bertemu dengan bapak dari Haran yang sudah lama menunggu kabar berita anak tunggal kesayangannya itu.

Setibanya mereka di Umaa’ Blur di Batang Rajang, rombongan disambut dengan hati yang gelisah. Tentunya semua orang ingin melihat siapa gerangan orang yang menculik Haran. Setelah diketahui oleh orang tua Haran dan sanak saudaranya, tentang siapa sebetulnya Bataang Lalang, maka orang tua Haran harus dengan berbesar hati menerima kenyataan itu. Setelah beberap lama Bataang Lalang bersama warga Umaa’ Blur, maka tibalah saatnya dia harus kembali ke rumah panjangnya di Sungai Sibau. Sebelum kembali, Bataang lalang dan Haran mendapat jatah bagian dari harta benda yang dimiliki oleh orang tuanya, serta beberap orang sanak keluarga yang sangat dekat dengan Haran sebanyak enam buah amin ikut Haran dan Bataang lalang ke Sibau.

Setelah beberapa lama bermukim di hulu Sungai Sibau, akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke hilir, agak berdekatan dengan orang Taman Sibau (Banua Sio). keberadaan orang Kayaan membuat orang Taman Sibau merasa iri tanpa sebab yang jelas, seperti yang dituturkan oleh narasumber.

Peristiwa Pertikaian Orang Kayaan dengan Orang Taman di Sibau:

Ketika orang Kayaan hidup berdampingan dengan orang Taman Sibau, mereka diterima dengan berbagai sikap pelecehan. Ketika orang Kayaan menjemur padi di Karangan, selalu dihamburkan dan diisi batu kedalam tikar oleh orang Taman. Ketika ibu-ibu sedang Sikap (Mansai) mencari ikan, ke ladang sendiri, diperkosa oleh orang Taman. Perbuatan orang Taman itu harus diterima dengan berbesar hati, karena orang Kayaan sangat sadar bahwa jumlah mereka sangat kecil jkika dibandingkan dengan orang Taman Sibau.

Ditempat itulah Bataang Lalang meninggal dunia karena sakit. Bataang lalang meninggalkan Haran istri tercintanya serta bayi yang berada dalam kandungan Haran. Untuk menggantikan tampuk kepemimpinan sang ayah, maka Sigo Lung putra sulung Bataang Lalang dengan Blasaat istri pertama Bataang Lalang, dipercayakan untuk memimpin seisi rumah panjang, mulai dari adat istiadat yang menjadi kewajibannya, hingga hukum adat.

Karakter Sigo Lung yang saat itu masih bujangan sangat berbeda dengan ayahnya yang bijaksana dan penyabar itu. Sigo Lung berkarakter keras, suka membangkang dan cendrung otoriter. Selama dia memimpin warganya, disebutkan oleh narasumber dia tidak terlalu pandai. Karena dia masih bujang, maka Sigo Lung didampingi tetua betang, yakni Uvat Ubung. Uvat Ubung adalah termasuk hipi uk (Hipi kecil). Setiap apa yang dilakukan oleh Sigo Lung, selalu di kontrol oleh Uvat Ubung. Namun saran dan pendapat Uvat Ubung tidak diperdulikan oleh Sigo Lung. Karena tipe pemimpin mereka yang berjiwa muda dan otoriter itu, warga menjadi kacau.

Ditambah lagi situasi kala itu sangat tidak tenteram, karena orang Taman menganggu Akhirnya Uvat Ubung bersama beberap warga lainnya mmemilih keluar dari rumah panjang dan menuju Sungai Mendalam. (Orang Kayaan menyebut Sungai Mendalam: Medalaam. Medalaam tidak punya arti dan makna). Rombongan Uvat Ubung inilah yang disebut Umaa’ Tadaan di Mendalam. Disebutnya mereka sebagai Umaa’ Tadaan, karena ketika ayo dari suku dayak Iban menyerang orang Kayaan di Mendalam, kelompok inilah yang pertama kali menjadi sasaran/serbuan pertama musuh (Tadaan Ayo).

Setelah kepergian Uvat Ubung, situasi orang Kayaan Sungai Sibau tambah kacau lagi. selain sebagian ada yang pindah ke Sungai Mendalam, ditambah lagi orang Taman semakin gencar melakukan intimidasi, maka warga semakin hidup dalam kebimbangan dan serba terjepit. Orang taman yang awalnya hanya melakukan pelecehan, berbuntut bunuh membunuh. Jika mau berpergian, seperti mencari ikan dan sebagainya, mereka harus berramai-ramai.

Selain Uvat Ubung yang juga sebagai tetua warga Kayaan di Sungai Sibau, ada juga Hanye’ Jaraan, anak Jaraan Ulah yang juga sama-sama memimpin dimasa kepemimpinan Bataang Lalang. Hanye’ Jaraan lah yang mengantikan Uvat Ubung, ketika pindah ke Sungai Mendalam.

Sambungan Kasus orang Kayaan dengan Taman Sibau:

Hanye’ Jaraan adalah orang yang sangat gagah perkasa yang memiliki postur tubuh besar tinggi. Dalam rumah panjang itu dia adalah seorang pemimpin perang. Kehebatan Hanye’ Jaraan, ketika di pergi bersama perempuan mencari ikan dengan cara sikap di danau, biasanya setelah situasi di anggapnya aman, maka dia berguling-guling dalam danau. Ketika selesai berguling, maka ikan kedakang (sejenis ikan pati yang ada durinya), melekat di sekujur tubuhnya. Dikatakan oleu narasumber, gelang betisnya (Pasaan: Bahasa Kayaan), sebesar bahu orang dewasa.

Dalam situasi yang sudah tidak memungkinkan itu, Sigo Lung beserta hipi uk, lainnya, termasuk Hanye’ Jaraan, membicarakan tentang situasi yang mereka hadapi. Saat itulah mereka teringat dengan kesepakatan yang pernah mereka sepakati sebelum mereka berpisah di hulu Sungai Jengayaan. Setelah mereka sepakat untuk meminta bantuan kepada saudara mereka yang ada di Sungai Mahakan, maka Hanye’ Jaraan dipercayakan untuk memimpin rombongan kecil kesana.

Rombongan yang dipimpin Hanye’ Jaraan langsung menuju Umaa’ Lung Gelaat. Di sana ada Bo’ (kake’ dalam bahasa Kayaan di Mahakam. Ukuu’ Bahasa Kayaan di Sungai Mendalam) Leju. Waktu Hanye’ Jaraan pergi meninggalkan Sungai Sibau, dia membawa pasir yang diisi dalam selpa (tempat menyimpan tembakau, terbuat dari tembaga kuningan) dan satu batu asah berukuran sedang. Setibanya di rumah orang Lung Gelaat, dia langsung bertemu dengan Bo’ Leju. Katanya setelah basa basi dan saling sapa menyaapa, ”Saya datang kesini untuk meminta bantuan sesuai dengan kesepakatan kita di Bato’ Masaan, hulu Sungai Jengayaan. kala itu kita sepakat, siapa yang kesusahan dia berhak meminta bantuan. Sekarang Kami dalam Sungai Tevio/Sibau, sedang dalam kesusahan, dan sangat menderita. Kami tidak bisa bergerak, oleh prilaku orang Dayak Taman,” Kata Hanye Jaraan. Dia menambahkan, ”Sebanyak pasir yang kami bawa inilah kamu harus membawa orang Kayaan yang ada dalam Sungai Mahakam ini, dan batu asah yang kami bawa ini, sebelum batu asah ini habis digunakan untung mengasah malaat Kayo (Mandau perang), maka pasukanmu belum siap turun.

Sebelumnya Bo’ Leju sudah penasaran dengan orang yang berasal dari Sungai Kapuas. Ketika itu, Mambo Ajang, dikatakan narasumber, adalah raja orang Dayak Tamambaloh (Orang Kayaan menyebut orang Tamambaloh: Turi Maluh. Turi: Taman, Maluh: Sungai Embaloh). Ketika itu Mambo Ajang pergi merantau ke Mahakam dan tinggal di rumah Bo’ Leju. Selama Mambo Ajang di sana, dia dilayani layaknya seperti saudara sendiri, walaupun berasal dari suku lain. Setelah sekian lama hidup bersama warga Bo’ Leju, tibalah waktunya Mambo Ajang mau kembali ke kampung halamannya di Sungai Embaloh. (Tidak disebutkan Mambo Ajang berasal dari kampung mana dalam Sungai Embaloh). Oleh Bo’ Leju, Mambo Ajang di kasih harta benda yang mampu dibawanya pulang, sebagai wujud dari rasa kekeluargaan. Karena barang itu terlalu banyak dan dia tidak mampu membawanya sendiri, (Tidak disebutkan, apakah Mambo Ajang sendiri, atau ada anak buahnya), Bo’ Leju menugaskan delapan orang anak buah Bo’ Leju untuk ikut mengantar harta benda yang diberikan pada Mambo Ajang. Sepanjang perjalanan menuju hulu Sungai Kapaus, mereka masih tetap bersahabat dan tidak saling menaruh curiga.

Ketika sampai di Nanga Bungaan (Orang Kayaan menyebut tempat ini: Lung: Nanga Bhungaan: Nama Sungai), ketika tidur malam, muncullah niat buruk si Mambo Ajang. Delapan orang anak buah Bo’ Leju yang sedang tertidur pulas dalam pondok darurat, bangunlah Mambo Ajang. Melihat mereka tidur pulas, maka dia berniat membunuh mereka. Dari delapan orang tersebut, tujuh yang mati ditempat dan satu berusaha lari menyelamatkan diri, hingga tiba di rumah Long Gelaat. Orang tersebutpun menceritakan banyak hal kepada Bo’ Leju. Mendengar itu, tentu saja Bo’ Leju sangat sakit hati. Tapi kala itu Bo’ Leju belum segera turun untuk mengayau.

Ibarat gayung bersambut, selang beberap waktu datanglah Hanye’ Jaraan, prihal memohon bantuan padanya, membuka tabir baru cerita duka yang masih melekat dalam ingatannya, ketika tujuh orangnya di bunuh oleh Mambo Ajang, yang dalam pengetahuannya adalah orang Dayak Taman. Dengan kasus yang menimpa anak buah Bo’ Leju ditambah lagi kasua yang dihadapi saudaranya orang Kayaan di Sungai Sibau, laporan hanye’ Jaraan di tanggapinya dengan mengatakan akan menyerang orang Taman di Kapaus. Setalah Hanye’ Jaraan menceritakan persoalannya, tidak terlalu lama di rumah Bo’ Leju, di bersama rombonganpun kembali ke Sungai Sibau.

Sementara Bo’ Leju sendiri menyiapkan anak buahnya yang terdiri dari orang Kayaan yang berada di bagian hulu Long Gelaat, dan orang Bo Leju sendiri, dalam jumlah ribuan orang. Tibalah saatnya Bo’ Leju memimpin rombongan menuju Sungai Mahakam. Perjalanan bala Leju itu menelusuri perjalanan yang pernah diikuti oleh delapan orangnya yang ikut Mambo Ajang. Setiba di Lung Bhungaan, tempat dimana ketujuh orangnya dibunuh oleh Mambo Ajang, mereka mendirikan pondok. (Menurut narasumber, Ketika itu, bnelum ada orang yang berada di Lung Bhungan). Di sana mereka tinggal selama satu sekitar tahun, yang disebut pedo {berhari-hari, untuk mengadakan adat pengayauan yakni dengan mencari nyaho kayu’ (Burung Kayau, yakni sejenis burung elang putih, burung hisit: iram, Burung Ketukung, dan lainnya)}. Ditempat itu mereka membentangi tali yang terbuat dari rotan dan membuat lingkaran rotan yang di gantung ditengah sungai terikat pada tali yang membentang sungai Kapaus. Setiap hari rotan itu ditunggu oleh dua orang, saming-masing seberang sungai. Sementara menunggu, orang tersebut berdoa meminta keselamatan agar dalam pengayauan mereka semua selamat, dengan meminta tanda dari alam yang berupa burung yang harus masuk dalam lingkaran rotan tadi.

Selama di Lung Bhungaan, ada yang membuat jalan pintas menuju Sungai Mendalam. Yakni dari Brukong Kapsau ke Berukong Mendalam. (Berukong adalah teluk yang memiliki arus air yang berputar-putar, didasar sungai ada lobang besar yang menembus ke Sungai Mendalam, dan sebaliknya. Orang Kayaan meyakini lobang Brukung adalah tempat jalan hantu). Di Mendalam mereka berhubungan dengan dengan orang Kayaan, termasuk rombongan Uvat Ubung. Namun dihilir orang Kayaan, ada juga orang Taman, yang disebut Taman Semangkok. Saat ini mereka memiliki dua rumah panjang. dari kedua rumah panjang yang ada sekarang ini, satu yang masih asli, Yakni Semangkok Ulu.

Melalui orang Kayaan di Mendalam, mereka mengkomunikasikan rencana penyerangan Bala Leju ke orang Kayaan yang berada di Sungai Sibau. Mendengar bahwa bala Leju sudah berada du hulu Kapuas, maka Hanye’ Jaraan menjemput mereka di sana. Hanye’ jaraan tidak langsung ke Lung Bhungan, tapi dia singgah di Naha’ Kaping Tingaang. (Hingga saat ini, lokasi Naha Kaping Tingaang itu belum di jummpai), dihilir Lung Bhungaan, di hulu Nanga Enap saat ini.

Setelah semua burung amsuk dalam lingkaran rotan, maka bala Leju, membawa anakbuahnya milir Sungai Kapuas. Ketika mereka milir sungai Kapuas, rombongan Leju melihat orang sedang mandi di Naha Kaping Tingaang. Yang mandi adalah Hanye’ Jaraan, dia sengaja membuat kejutan agar bala Leju heboh. Tentu saja bala leju yang sudah dirasuki rasa keberani, setelah mengadakan adat ngayau, melihat Hanye’ Jaraan langsung mau membunuhnya, karena satupun diantara mereka tidak ada yang mengenalnya. Dengan sabar hanye jaraan yang sudah tahu bahawa merka adalah orang Kayan. bertanya ”Dari mana kalian!”. Bala Leju itu terkejut. Mengapa ada orang Kayaan ada ditampat itu.. Mereka menjawab, ”Kami ayo leju”. Hanye’ Jaraan bertanya lagi ”Hii’ pengulaan kayu pelo?’” (Siapa kepala pengayauan kalian?”). Mereka manjawab ”Bo’ Leju”. Mendengar itu Hanye; Jaraan semakin tenang, karena jika bukan pimpimpinan Bo’ Leju maka jiwanya akan terancam. Bo’ Leju yang berada dalam sampan yang diapiti oleh ratusan sampan lainnya itupun terkejut melihat Hanye’ Jaraan yang sudah berada didepannya.

Hanye” Jaraan meminta agar Bo’ Leju dan ayonya singah di tempat itu. Sementara itu Hanye’ Jaraan kembali ke pondok kecilnya untuk memasang pakain perangnya. Kebetulan ditempat itu ada satu pohon bush sibau hutan (Sejenis rambutan), langsung di potong oleh Hanye’ Jaraan dengan Malaat Kayo-nya. pohon sibau itu menurut narasumber sebesar badang orang dewasa, yang kemudian ditancapkannya di tengah Naha Kaping Tingaang, untuk berteduh. Melihat kelebihan Hanye’ Jaraan, ayo Leju jadi penasaran.



[1] H.J. Malinckrodt menggunakan istilah “Stammenras”. Pengelompokkan enam rumpun yang dimaksudkan ialah :

1. Stammenras : Kenya-Kayan-Bahau

2. Stammenras : Ot Danum

3. Stammenras : Iban

4. Stammenras : Moeroet

5. Stammenras : Klemantan

6. Stammenras : Poenan

[2] Penamaan kasta Hipi istilah yang digunakan di Kalimantan Barat saja. Sementara ditempat Kaltim, Sarawak, Malaysia menggunakan istilah Hipui

RESOLUSI KONGRES ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA KALIMANTAN BARAT

RESOLUSI KONGRES ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA KALIMANTAN BARAT

1. AMAN KALBAR mendesak sidang umum PBB untuk segera merealisasikan pengesahan Deklarasi tentang Masyarakat Adat paling lambat tahun 2007.

2. AMAN KALBAR mendesak Pemerintah Indonesia agar ikut menandatangani Deklarasi Sidang Umum PBB tentang masyarakat adat.

3. AMAN KALBAR mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk pertambangan emas yang merusak lingkungan.

4. AMAN KALBAR mendesak pemerintah daerah untuk mengakui hukum adat.

5. AMAN KALBAR mendesak pemerintah untuk mencabut semua ijin HPHH yang akan dan sedang beroperasi.

6. AMAN KALBAR mendesak pemerintah untuk mencabut dan meninjau ulang semua ijin-ijin pertambangan; batu bara, uranium, batu glena, dan pertambangan emas.

7. AMAN KALBAR mendesak pemerintah untuk meninjau ulang semua kebijakan tentang perkebunan kelapa sawit dan mencabut HGU perusahaan-perusahaan sawit yang akan beroperasi.

8. AMAN KALBAR mendesak pemerintah untuk mempercepat pembangunan desa-desa tertinggal dan daerah perbatasan tanpa persyaratan kepada masyarakat.

9. AMAN KALBAR mendesak pemerintah agar meningkatkan perekonomian masyarakat adat.

10. AMAN KALBAR mendesak pemerintah untuk pemerataan pembangunan infrastruktur.

11. AMAN KALBAR mendesak instansi militer agar membatalkan rencana latihan militer di kawasan perbatasan dan tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun di kawasan tersebut.

12. AMAN KALBAR menolak program transmigrasi di wilayah masyarakat adat tanpa melalui konsultasi dan persetujuan dari masyarakat adat di wilayah tersebut.

13. AMAN KALBAR mendesak pemerintah Kabupaten Ketapang untuk mencabut Perda No. 15/2006 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Ketapang.

14. AMAN KALBAR meminta pemerintah untuk meninjau ulang semua kebijakan yang berkaitan dengan taman nasional yang berada di wilayah masyarakat adat.

15. AMAN KALBAR mendesak pemerintah untuk menghentikan praktik illegal logging berskala besar.

16. AMAN KALBAR meminta pemerintah untuk mempertegas dan memperjelas tapal batas antar negara dan antar kabupaten di Kalimantan Barat.

17. AMAN KALBAR mendesak pemerintah agar mengembalikan sistim pemerintahan dari pemerintahan desa ke pemerintahan kampung.

18. AMAN KALBAR mendesak pemerintah agar segera merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20%.

19. AMAN KALBAR mendesak pihak kepolisian untuk menertibkan segala bentuk perjudian, minuman keras, dan prostitusi.

20. AMAN KALBAR mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar dari kebijakan-kebijakan yang tidak menghormati hak-hak masyarakat adat dan menimbulkan banyak konflik, seperti HPHH, Taman Nasional

KAMIS 21 MARET 2007 ASRAMA HAJI PONTIANAK

PROPINSI KALIMANTAN BARAT